Hari Rabu, tanggal 11 Juli 2012...
Sore itu, aku dan si Mas menuju supermarket yang lumayan besar di Jambi untuk membeli segala kebutuhan rumah. Ketika naik ke mobil, aku sempat heran melihat si Mas yang memakai kopiah haji berwarna hitamnya, karena kami hanya ke supermarket saja. Tapi aku diam saja, lagi gak mood godain si Mas dengan kopiahnya. Di perjalanan aku "memaksa" si Mas untuk mampir dulu buat jajan pempek di dekat rumah Om-ku di Talang Banjar (Om Icot). Pas pesanan datang, si Mas menjawab panggilan di hp-nya. Aku baru mencicipi satu pempek, langsung berhenti karena bingung melihat mata si Mas yang berkaca-kaca. Dengan suara lirih, si Mas bilang..."Bapakku meninggal..."
Aku sempat terdiam selama beberapa detik mendengar kabar tersebut, sementara si Mas hanya menunduk menahan tangis. Segera Aku ajak si Mas menuju bandara yang kebetulan tinggal separuh perjalanan lagi. Jam di tanganku menunjukkan waktu jam 5.45, sepengetahuanku, pesawat terakhir dari Jambi-Jakarta jam 6 sore. Hanya ada waktu 15 menit untuk mengejar pesawat terakhir itu. Walaupun dalam hati aku merasa persimis, karena tanpa tiket, rasanya tidak mungkin, tapi aku tetap memberi semangat ke si Mas untuk menuju bandara. Bagaimanapun juga, Suamiku harus berangkat, Suamiku harus melihat Abahnya untuk yang terakhir kalinya, bagaimanapun caranya.
Di bandara, aku sedikit lega karena sahabat kami, Sandi yang sempat di telfon si Mas di perjalanan sudah terlebih dahulu ada di bandara. Seperti perkiraanku, pesawat terakhir penuh, tidak ada satupun kursi yang tersisa. Aku gak mau nyerah, aku berjalan memperhatikan siapapun yang berangkat dan berharap ada yang aku kenal yang bisa aku ganti tiketnya untuk si Mas. Sandi yang tetap berusaha di counter tiket, berhasil mendapatkan satu tiket dari penerbangan yang jadwal keberangkatannya delay dari yang mestinya berangkat sebelum pesawat terakhir tersebut. Walaupun hanya ada satu tiket, yang tentu saja saat itu hanya untuk si Mas, aku sangat bersyukur sekali. Alhamdulillah, suamiku yang hanya membawa baju dibadan, berkopiah hitam dan memakai sandal bisa berangkat ke Jakarta.
Di perjalanan pulang, aku hanya berdoa semoga si Mas dilancarkan perjalanannya, karena sampai di Jakarta, si Mas dan Mas Imron (Mas-nya si Mas) yang sedang berada di Jakarta harus melanjutkan perjalanan menuju Surabaya dan melanjutkan dengan mobil menuju Sampang, Madura, tempat Abah berada dan dimakamkan. Sampai di rumah, Papa, Abang dan sepupuku sudah menunggu, setelah Isya', kami membaca Yasin dan Tahlil untuk Abah. Malam itu juga, Aku dan Papaku memesan tiket untuk besok paginya menyusul suamiku. Papa yang aku sarankan untuk tidak ikut karena masih harus istirahat setelah pemasangan cincin di jantungnya tetap ngotot mau ikut takziah besannya itu. Akhirnya diputuskan untuk mengajak Zirin, keluarga kami yang akan mendampingi Papa hingga kembali ke Jambi karena aku akan tinggal bersama si Mas di Malang, hingga 7 hari meninggalnya Abah.
Itu nama mertuaku. Ayah dari suamiku yang aku sayangi. Nama yang baru aku ketahui saat kami akan mencetak undangan pernikahan kami. Sebelum itu, aku hanya mengenal nama beliau sebagai -Pak Hamid-, Ayah dari Mas Hasyim, calon suamiku. Yep, hubunganku dan si Mas memang unik. Dari kenal biasa menjadi sahabat, kami menikah. Gak ada istilah pacaran lama. Karena si Mas bekerja di Jakarta, sementara keluarganya berada di Malang, aku tidak begitu mengenal orang tuanya. Aku hanya mengenal Mas Imron dan Istrinya, Mba' Anisa, karena mereka keluarga si Mas yang ada di Jakarta. Mas Imron dan Istrinya-lah yang mewakili keluarga si Mas datang ke Jambi menemui Papa untuk melamarku.
Pertama kali aku bertemu kedua mertuaku saat mereka datang ke Jambi untuk menghadiri pernikahan kami. Pertama kali aku bicara dengan Abah, aku langsung merasa akrab. Abah orangnya ramah dan penyayang, tidak kaku seperti bayanganku. Di hari pernikahan kami, diatas pentas, Abah terlihat segar dan terus tersenyum hingga acara berakhir. Padahal, semula aku khawatir Abah akan kelelahan mengingat usianya (saat itu, usia Abah 81 tahun). Bahkan Abah sesekali mendatangi kami memberi semangat untuk aku yang mulai kelelahan menyalami para tamu.
Selama kami menikah, setiap kali si Mas menelfon Abah, beliau selalu menanyakan keadaan ku. Terakhir kali aku bicara dengan Abah via telfon, Abah mengajakku berdoa bersama agar kami segera di berikan momongan. Aku sangat terharu mendengar doa Abah, seakan beliau mengerti kegalauanku. Tepat 3 hari setelah 2 tahun kami menikah, didalam sujud sholatnya, Abah pergi meninggalkan kami untuk selamanya.
Abah, terima kasih untuk doa-doamu yang selalu mengiringi pernikahan kami, walaupun sekarang Abah sudah tidak bersama kami lagi, kami yakin doamu akan selalu ada untuk kami.
Selamat jalan Abah...semoga kebaikan hati dan amal ibadahmu mengantarkanmu untuk mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT....Amiiin...
Alfatehah ya untuk Abah...
Mbak, aku turut berduka cita tuk mbak Camelia dan keluarga ya. Walaupun beliau telah tiada semoga doa beliau untuk Mbak Camelia dikabulkan. Salam buat keluarga, terkirim doa dari jauh.
ReplyDeleteHugs,
Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Turut berduka cita ya Lia atas berpulangnya bapak mertua. Semoga diampuni segala dosanya dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Aamiin....
ReplyDeleteRina Audie
Turut berduka cita, Lia...semoga Abah mendapat tempat yang indah di sisiNya.
ReplyDeletehanna
Turut berduka cita ya Mbak Lia...smoga keluarga yg ditinggalkan tabah n doa beliau utk Mbak Lia dikabulkan Allah.GBU
ReplyDelete