Whats up?
Kali ini aku mau cerita soal si Umi. Yep, yang ku maksud adalah Umi yang sudah bekerja di rumah orang tuaku selama 11 tahun. Dulu pertama kali datang, Umi termasuk yang tugasnya hanya bersih-bersih rumah saja tapi lama kelamaan, justru Umi yang paling menguasai urusan dapur. Karena begitu lamanya, Umi adalah asisten terakhir yang sempat "disentuh" oleh almarhumah Ibuku dulu. Gak heran, kalau masakkan Umi udah pas banget sama kami di rumah, rasanya itu lho, mirip sama masakan Ibu. Terbukti, walaupun sudah lebih dari 6 tahun Ibu meninggalkan kami, Abang-abangku masih suka makan di rumah. Sama seperti dulu, mereka datang, ke meja makan langsung makan, trus cabut balik lagi ke kantor. Gak ada komplen soal masakannya. Kebiasaan Ibuku dulu yang mewajibkan kami semua makan di meja makan, juga tidak terganggu karena si Umi yang selalu menyiapkan makan pagi, siang dan malam untuk kami.
Untuk belanjapun, kami terima beres, Umi bisa mengatur belanjanya sendiri. Kejujurannya udah gak perlu diragukan lagi. Baik itu masalah uang, ataupun urusan rumah. Untuk aku dan Abang-abangku, Umi sudah seperti adik kami sendiri. Sifatnya yang rajin dan gak banyak omong, membuat kami sangat menghargai kehadiran Umi di rumah. Mau asisten banyak ataupun sedikit, bahkan sempat si Umi cuma sendiri, semua tetap beres dan terlihat normal. Membuat minum tamu Papa, memasak untuk orang serumah, semua berjalan seperti biasa. Bahkan untuk pengajian tiap Selasa di rumah yang anggotanya 300-an orang, makanannya dibuat sendiri sama Umi.
Memang saat pengajian itu, yang di sediakan makanan sore aja, seperti lontong, nasi gemuk, soto, rujak mie... tapi mengingat jumlah jamaah yang semakin bertambah, beberapa kali kami menyarankan Umi untuk membeli yang sudah jadi. Tapi Umi sendiri sepertinya menikmati karena di hari Selasa, dengan di bantu beberapa sanak keluarga, dia bisa bereksperimen membuat makanan baru (kami memang membiarkan Umi membuat makanan apa saja sesuai kemampuan tenaga dia sendiri). Alhamdulillah, makanannya selalu bervariasi dan selalu di sambut baik oleh jamaah yang datang. Untuk pengajian itu sendiri, karena sudah dimulai hampir 10 tahun lalu, bisa dikatakan si Umi sudah terlibat menyiapkan makanannya sejak pertama kali dimulai disaat anggotanya hanya 20 orangan hingga sekarang.
Selama 11 tahun, tentu banyak yang terjadi dalam hidup Umi selama bersama kami. Umi yang datang sudah di tinggal Ibu, harus kehilangan Ayahnya yang wafat karena sakit, lalu Neneknya, dan Istri Ayahnya. Kini hanya tinggal Umi dan Kakaknya yang tinggal di kampung. Sesekali, Kakaknya datang berkunjung, kebetulan, keponakkan Umi ada yang bersekolah di pondok pesantren di Seberang Kota Jambi. Saking sayangnya keluargaku dengan Umi, Papaku pernah pesan, kalau si Umi menikah, maka kami akan mengurus dan menanggung semuanya. Kalau Umi menikah di saat Papa udah gak ada, maka kami anak-anaknya di wajibkan menjalankan amanat Papa tersebut.
Beberapa hari setelah Idul Fitri, Umi pamit untuk pulang mudik ke kampungnya di Kuamang, kabupaten Bungo (sekitar 5 jam dari kota Jambi). Selain mudik, juga akan memperkenalkan calon suaminya ke sanak saudaranya. Siapa sangka, Umi yang semula niatnya hanya memperkenalkan, karena satu dan lain hal ternyata akhirnya langsung menikah. Tentu saja, kami sekeluarga merasa senang mendengar kabar pernikahan Umi (umur Umi setahun dibawahku).
Setelah menikah, hari Minggu lalu Umi pulang kerumahku bersama suaminya dan menginap di rumah. Kami semua menrasakan kebahagiaan Umi. Papa dan abangku Riri, mengurus surat-surat pernikahan Umi agar pernikahan siri yang dilakukan segera didaftarkan dan diakui oleh negara. Yah, paling tidak hanya itulah yang dapat kami lakukan untuk membantu Umi agar nyaman menjalankan rumah tangganya nanti. Di sela-sela itu, Umi mulai melatih penggantinya tentang apa yang harus dilakukan dan disiapkan. Kebetulan, pengganti Umi adalah saudaranya sendiri, namanya Yok (aslinya sih Rodiah, gak tau kenapa di panggil Yok...hehehe). Yok ini masih muda dan belum pernah kerja sebelumnya, tapi dia mengingatkan aku sama si Umi waktu pertama kali datang ke rumah. Walaupun nanti caraku mengajari Yok berbeda dengan cara Ibuku dengan Umi dulu, tapi aku cukup optimis.
Hari ini, Umi pamit dengan kami semua untuk mengikuti suaminya yang bekerja di perbatasan Riau-Jambi. Mengharukan juga melihat Umi mebawa barang-barangnya keluar kamar yang menjadi kamarnya selama ini. Kami hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Umi dan memintanya untuk selalu memberi kami kabar, karena kami adalah keluarganya di Jambi. Mudah-mudahan segala kebaikan Umi untuk keluarga kami mendapatkan berkah dari Allah SWT...Amiiin...
O ya, selain itu, di Jambi lagi kemarau panjang. Sumur di belakang rumah yang biasanya gak pernah kering, sekarang airnya tinggal 25 cm-an dari permukaan (according to si Mas), lalu pembakaran hutan yang semena-mena mengakibatkan Jambi di selimuti asap. Makin lama, asap tebalnya makin kentara, mulai terasa gak enak kalo bernafas. Aroma kayu bakar bikin malas bernafas panjang di luar rumah. Orang-orang pun mulai ber-masker-ria.
Yuk, keluar rumahku, kita lihat asapnya...
Naaaah...keliatannya seperti kabut ya, itu asap yang bikin sesak, tuh ada Papaku yang sekarang punya hobby baru, nyiramin tanaman sebelum sarapan pagi....nyiramnya pake masker...hehehehe...
Jalan terus ke depan...keluar pagar....
Lihat kiri, asap....lihat kanan, asap.... aiiih...yuk masuk lagi!!